Semar merupakan nama tokoh punakawan atau abdi paling utama dalam
pewayangan. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para
kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Karena
merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu saja kita tidak akan menemukan
nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana yang berbahasa
Sansekerta.
Dalam lakon
wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan
“anak-anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu
literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak
kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan
Semarlah yang telah berhasil membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya
adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari
bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Namun
demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir di setiap lakon apapun. Baik
itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun pewayangan Jawa
Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada.
Artinya
tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit
karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu saja gaya penyampaian pesan ala Semar
tidaklah seserius tokoh wayang yang lain karena pada dasarnya Semar seringkali
berbicara sambil bercanda. Nah, disinilah letak menariknya tokoh Semar bagi
saya. Serius, tapi juga santai. Dengan cara “sersan” inilah mungkin diharapkan
pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah diterima dan dicerna oleh setiap
penikmat pertunjukan wayang kulit.
Dalam kisah
Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh dari para Pandawa
yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara dalam kisah Ramayana, Semar
juga ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri Rama dan Sugriwa. Sehingga
boleh dikata tokoh Semar akan selalu muncul dalam setiap pementasan wayang
kulit, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan. Dalam hal ini Semar
tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut saja, melainkan juga sebagai
pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Dalam
perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Semar
dikisahkan bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan
dari Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja
para dewa. Memang ada beberapa versi tentang asal-usul dari tokoh Semar ini.
Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini merupakan penjelmaan dari
dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di Karangdempel. Karang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa.
Kalau kita
perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat
mengagumkan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya membangun sarana dari
dasar dan naya atau nayakayang
berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah
Allah demi kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berartihaseming
samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang
penuntun makna kehidupan.
Secara
fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki,
tetapi memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan
wanita. Tangan kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar
hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang,
bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral
namun simpatik.
Semar
berambut “kuncung”
seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa akuning sang kuncung, yaitu sebagai
kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk
melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan,
Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia
perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan
Yang Maha Pengasih serta Penyayang umat.
Selain itu
Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif Parangkusumorojo, yang merupakan
perwujudan Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia
agarmemayuhayuning
bawono, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri fisik
Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan
simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk
lainnya. Semar juga tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini
menggambarkan simbol suka dan duka. Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya
berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua dan muda. Ia merupakan
penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan simbol dari
atasan dan bawahan.
Bagi saya
Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar
yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi,
namun keluhurannya disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata.
Menurut versi aslinya, penasehat pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah
Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan, penasehat Pandawa menjadi dua yaitu
Kresna dan Semar.
Sering
dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon kentut Semar ini bisa
membuat pusing para punggawa keraton yang tidak menjalankan tugasnya sesuai
ketentuan yang berlaku. Dengan kata lain ada saja pejabat keraton yang melakukan
tindakan melawan hukum yang merugikan masyarakat.
Sebagai
penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan bijaksana. Bisa
bergaul dengan siapa saja, baik dengan kalangan atas maupun kalangan
bawah. Selain itu juga tanggap terhadap perubahan jaman. Akan tetapi jika
menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang, maka Semar akan dengan
tegas melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bisa
dikatakan kalau Semar ini rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang
diterimanya dari Sang Maha Kuasa.
Bila kita
cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog : “mbergegeg,
ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam,
bergerak atau berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi. Maksudnya dari ucapan
Semar itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk
lepas (ugeg-ugeg)
dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit)
tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan
moral yang sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah,
walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena
berusaha tersebut akan abadi.
Semar
seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan,
tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang
yang sedih menjadi gembira. Orang yang sedang susah bisa tertawa. Itulah sosok
Semar yang selalu
tumakninah, mengawal
kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Semar
merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi,
apabila para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar,
mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka bisa dipastikan
negara yang dipimpinnya akan menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Sekarang
coba kita perhatikan para pejabat di negara kita. Apakah mereka sudah
benar-benar mengemban amanat rakyat? Apakah mereka berani mempertaruhkan
segalanya demi kebenaran? Ah, sepertinya koq masih jauh dari angan-angan ya.
Mungkin para pejabat di negara kita ini perlu kali ya belajar dari sosok Semar.
Karena dengan memahami falsafah Jawa dan perilaku Semar tadi pasti akan
diperoleh banyak manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dan yang pasti jika semua
pejabat kita bisa mencontoh sosok Semar, niscaya negara kita akan menjadi
negara yang makmur, gemah ripah loh
jinawi.